BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Adalah merupakan sunatullah,
bahwa makhluk bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan
perempuan (Q.S. Al-Dzariyat : 49). Namun terdapat perbedaan yang besar antara
manusia yang nota bene memiliki hawa nafsu dan akal dengan hewan yang hanya
memilki nafsu. Dengan hanya memiliki nafsu ini hewan tidak bisa berbudaya dan
tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, kecuali dalam beberapa
hal kecil untuk mempertahankan hidupnya, yang muncul berdasarkan instinct. Oleh
karenanya hewan bisa menyalurkan nafsunya dengan sesukanya tanpa batasan,
sedangkan manusia tidak dapat menyalurkan nafsunya seperti hewan, melainkan
harus dengan peraturan-peraturan yang berbentuk institusi perkawinan.
Dalam sejarah umat manusia,
baik manusia priminif maupun manusia modern mengakui adanya institusi
perkawinan ini, meskipun dengan cara berbeda-beda. Penyimpangan terhadap
ketentuan ini seperti prostitusi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang
harus dihilangkan. Memang dalam kenyataannya terdapat sejumlah komunitas yang
walaupun mengakui institusi perkawinan, tetapi memiliki persepsi yang spesipik
tentang hubungan seksual diluar perkawinan. Misalnya saja pada masyarakat
Eskimo untuk menghormati tamu yang terpandang menyuruh isterinya untuk tidur
dan memberikan pelayanan sex seperlunya kepada tamu tersebut. Demikian pula
halnya pada beberapa kelompok suku di pulau Mentawai, Flores, mengizinkan
anak-anak gadisnya melakukan hubungan sex diluar nikah, karena anak-anak gadis
yang trampil memberikan pelayanan sex akan laku lebih dahulu.
Dalam Islam perkawinan
dimaksudkan adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal
serta untuk melangsungkan keturunan, dalam suasana yang mawaddah (saling
mencintai) rahmah (saling berkasih sayang) antara suami isteri, hal ini
sebagaimana maksud dari makna Q.S. al-Rum : 21. Dan perkawinan yang baik adalah
perkawinan yang dilakukan oleh seorang suami dan isteri yang seakidah, seakhlak
dan satu tujuan, disamping cinta dan ketulusan hati. Sehingga dibawah naungan
keterpaduan inilah kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih
sayang, keluarga akan bahagia anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya terwujud
tujuan perkawinan yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah
mawaddah dan rahmah.
Menurut pandangan Islam,
tujuan perkawinan tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami dan
isteri tersebut berpegang pada satu keyakinan yang sama dan mereka teguh dalam
melaksanakan ajaran agamanya. Jika agama keduanya berbeda, makan akan timbul
berbagai permasalahan dalam keluarga itu, misalnya saja dalam masalah
pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi
keagamaan, dan lain sebagainya yang pasti akan timbul dalam keluarga tersebut.
Islam dengan tegas melarang wanita Islam menikah dengan pria non-muslim, baik
musrik maupun ahlul kitab, demikian pula halnya seorang pria Islam dilarang
menikahi wanita musyrik, kedua bentuk perkwinan ini mutlak diharamkan.
Yang menjadi permasalahan
adalah apabila perkawinan itu antara seorang pria Islam dengan wanita Ahlul
kitab, bagaimana status perkawinan mereka, berdasarkan zahir ayat 221 Q.S.
al-Baqarah maka boleh seorang pria muslim menikahi wanita ahlul kitab, demikian
halnya menurut pandangan ulama pada umumnya, kendati demikian tidak sedikit
pula ulama yang melarang perkawinan semacam ini, Dalam makalah yang sederhana
ini penulis akan mencoba membahas permasalahan tersebut ditinjau dari pandangan
ulama mazhab empat dan dikaitkan dengan kenyataan aktual yang terjadi pada
masyarakat Indonesia saat ini.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama?
2. Bagaimana
hukum perkawinan lintas agama?
3. Bagaimana
pendapat para mazhab tentang perkawinan lintas agama?
1.3
Tujuan
Masalah
1. Mengetahui
apa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama.
2. Mengetahui
hokum perkawinan lintas agama.
3. Mengetahui
pendapat para mazhab tentang perkawinan lintas agama.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Perkawinan
Bermacam-macam pendapat yang dikemukakan para pakar hukum
mengenai pengertian perkawinan, namun seluruh pengertian tersebut pada dasarnya
mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda, dan perbedaan
tersebut tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan akan makna yang terkandung
dalam perkawinan tersebut. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1
dikatakan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa, selanjutnya
pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dr. Anwar Haryono dalam bukunya Hukum Islam, menyatakan
bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Sedangkan Pror. Dr. Shalaby
mengemukakan pemahamannya tentang makna perkawinan dikaitkan dengan arti dari
Q.S Yaa Siin : 36 dan arti Q.S. al-Mu’minun : 27, bahwa perkawinan adalah hukum
alam yang tetap dan luas bidangnya yang mencakup setiap makhluk hidup, hukum
tersebut membahagiakan setiap makhluk hidup dan masing-masing jenis akan
memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia yang berbeda dengan rasia yang diberikan
kepada lawan jenisnya.
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikatakan bahwa perkawinan
adalah merupakah salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri
dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang
dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia dibumi. Menurut Kompilasi Hukum
Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang
sangat kuat atau mittsaqon ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakanya adalah merupakan ibadah.
Sedangkan yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama
adalah perkawinan antar agama, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang
pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang
pria yang beragama non-Islam. Perkawinan antar agama disini dapat terjadi (1)
calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik
ahlul kitab ataupun musyrik, dan (2) calon suami beragama Islam, sedangkan
calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik.
Dari berbagai pengertian diatas, dapat penulis simpulkan
bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dan wanita sebagai upaya untuk menyalurkan nafsu seksualnya dalam
bentuk rumah tangga yang bahagia sakinah mawaddah wa rahmah, guna melanjutkan
keturunannya, dan dipandang ibadah bagi yang melaksanakannya, sedangkan
perkawinan lintas agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau
wanita muslim dengan seorang pria atau wanita non Islam.
2.2 Hukum
perkawinan lintas agama
Sebagaimana
telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama adalah
perkawinan antar agama, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau
seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang
beragama non-Islam. Perkawinan antar agama disini dapat terjadi (1) calon
isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul
kitab ataupun musyrik, dan (2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon
isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik. Yang menjadi
permasalahan rumit dan pelik disini adalah hukum perkawinan antar agama ini,
dan memang dalam banyak kasus di masyarakat kita masih muncul resistensi yang
begitu besar dalam masalah kawin beda agama ini. Hal ini disebabkan karena
dalam sejumlah ayat yang secara literal melarang dan mengharamkan perkawinan
antar agama ini, itulah sebabnya mengapa kelompok ekslusif melarang dan
mengharamkan hukum perkawinan antar agama ini.
Mengenai
hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang dan mengharamkannya. Namun
harus terlebih dahulu kita pisahkan pelaku dari perkawinan itu, apakah antara
wanita Islam dengan laki-laki non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik., atau
kah antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahl al-kitab
atau musyrik.
Apa
bila terjadi perkwinan antara seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non
Muslim baik ahl al- kitab atau musyrik, menurut Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh
As-Sunnah (1990 : 95) ulama fiqh sepakat melarang dan mengharamkan perkawinan
ini. Hal ini sebagaimana dilansir dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat 221,
yang artinya “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran”.
Demikian
tegas dan pastinya Islam meletakkan hukum bagi perkawinan yang dilakukan oleh
seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non muslim, menurut mereka
seandainya terjadi perkawinan seperti ini dimana suami tetap pada agamanya,
maka perkawinan ini harus dibatalkan.
Demikian
juga halnya bila perkawinan itu dilakukan oleh seorang laki-laki muslim dengan
seorang wanita non-muslim, baik Ahlul Kitab atau musyrik. Menurut Ibnu Umar
perkawinan antara seorang pria muslim dengan ahlul kitab maka hukumnya haram
sama haramnya dengan mengawini wanita musyrik, alasannya adalah karena wanita
ahlul kitab juga telah berlaku syirik dengan menuhankan nabi Isa. Alasan lain
yang mengharamkan perkawinan jenis ini adalah karena ayat yang membolehkannya
yaitu Q.S. Al-Maidah : 5 telah dianulir dengan Q.S. Al-Baqarah : 221.
Yang
mengharamkan pernikahan seorang laki-laki muslim dengan ahlul kitab adalah
karena laki-laki yang berkedudukan sebagai suami adalah memegang pimpinan dan
kendali dalam rumah tangganya, ia adalah teladan dalam pembinaan akhlaq Islam
dalam keluarganya, ia juga harus mampu menunjukkan keluhuran agama Islam dalam
lingkungannya khususnya untuk anak dan isterinya. Tetapi Al-Sabuni menegaskan
bahwa apabila dihawatirkan suami dan anak-anaknya akan terkena pengaruh agama
isterinya yang kitabiyah, maka nikah dengan kitabiyah ini hukumnya haram.
Menanggapi
masalah ini Yusuf al-Qordawi berpendapat, bahwa kebolehan nikah dengan wanita
kitabiyah adalah tidak mutlak, tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus
diperhatikan, yaitu sebagai berikut :
1)
Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi, tidak ateis, tidak
murtad dan tidak beragama selain agama samawi.
2) Wanita kitabiyah tersebut harus mukhshonat (memelihara
kehormatan dirinya dari perbuatan zina).
3) Bukan wanita kitabiyah yang kaumnya berstatus musuh
dengan kaum muslimin.
Namun
di sisi lain sekelompok golongan yang menamakan dirinya inklusif-pluralis
berpandangan bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri,
memiliki konsep ketuhanan, mengajarkan kebaikan, sehingga tidak bisa dikatakan
mana agama yang benar atau agama yang sesat, mengenai hukum perkawinan beda
agama menurut mereka adalah boleh. Kelompok ini mendasarkan argumentasinya pada
ayat suci Alquran yakni Q.S. al-Maidah ayat 5, yang berbunyi sebagai berikut :
Pada
hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak
menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi.
Menurut
mereka ayat ini merupakan ayat Madinah yang diturunkan setelah ayat yang
melarang perkawinan dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka beriman, ayat
ini dapat disebut ayat revolusi karena secara eksplisit menjawab beberapa
keraguan masyarakat muslim pada masa itu, karena pada ayat yang diturunkan
sebelumnya, yaitu QS. Al-Baqarah : 221 menggunakan istilah musyrik yang bisa
dimaknai untuk seluruh non muslim. Namun pada ayat ini mulai membuka ruang bagi
wanita ahl al-kitab (Kristen dan Yahudi) untuk melakukan pernikahan dengan
orang-orang Muslim. Maka menurut kelompok ini ayat ini berfungsi sebagai nasikh
terhadap ayat sebelumnya.
Muhammad
Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi Ahmed An-Naim dalam buku
Dekonstruksi Syari’ah mengatakan bahwa larangan dan pengharaman perkawinan
antar agama ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang
ekonomi dan keamanan. Namun untuk konteks sekarang dimana seorang wanita dan
pria memiliki kebebasan dan kemampuan tanggung jawab yang sama didepan hukum,
sehingga larangan itu tidak berlaku lagi.
Sejalan
dengan hal tersebut seorang peneliti sosial yaitu Noryamin Aini yang melakukan
penelitian terhadap praktek perkawinan beda agama di Yokjakarta mendapatkan
hasil yang mengejutkan, dimana figur seorang ibu secara konsisten sangat
dominan membawa anak-anaknya memeluk agama yang dianutnya. Kenyataan dari data
ini sungguh dapat meruntuhkan asumsi dan mitos klasik sebagaimana yang
disebutkan oleh Maulana Muhammad Ali yang menyatakan bahwa seorang wanita
muslim yang menikah dengan pria non muslim akan menemukan banyak permasalahan
dan problem dalam rumah tangganya. Oleh karena itu tidak ada lagi alasan
empiris yang dapat dijadikan dasar melarang perkawinan antar agama.
Dari
uraian-uraian tersebut diatas, dapat penulis simpulkan bahwa para ulama fiqh
sepakat mengharamkan perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita muslim
dengan seorang pria non-muslim apakah dia dari golongan ahlul kitab, ataukah
musyrik.
2.3 Hukum Perkawinan Lintas Agama Menurut Undang-Undang
Perkawinan Indonesia
Undang-undang
perkawinan yang mulai berlaku secara efektif tanggal 1 oktober 1975 mempunyai
cirri khas kalu dibandingkan dengan hokum perkawinan sebelumnya terutama dengan
undang-undang atau peraturan perkawinan yang dibuat oleh dan diwariskan oleh
pemerintah colonial belanda dahulu yang menganggap perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita hanyalah hubungan sekuler, hubungan sipil atau
perdata saja, lepas sama sekali dengan agama atau hokum agama. Undang-undang
perkawinan yang termaktub dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 berasaskan agama. Artinya
sah tidaknya perkawinan seseorang ditentukan oleh hukum agamanya. Ini sesuai
dengan cita hukum bangsa Indonesia: Pancasila dan salah satu kaidah fundamental
Negara yaitu ketuhanan yang Maha Esa yang disebut dalam pembukaan dan dirumuskan
dalam batang Tubuh Undang Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 bab Agama. Pasal 2
ayat 1 Undang Undang perkawinan dengan tegas menyatakan bahwa “Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu”.
Anak
kalmiat “agamanya dan kepercayaannya itu” berasal dari ujung ayat 2 Pasa 29
Undang Undang dasar 1945, dibawah judul agama. Oleh karena itu adalah tepat dan
berasalan keterangan almarhum Bung Hatta pada waktu Undang-Undang perkawinan di
sahkan pada tahun 1974, seperti telah disinggung di muka, bahwa perkataan
kepercayaan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang perkawinan yang berasal
dari Undang-undang Dasar 1945 itu adalah kepercayaan agama yang diakui
eksistensinya dalam Negara Republik Indonesia, bukan kepercayaan menurut aliran
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kunci pemahaman yang benar tentang
ini adalah: Pasal 29 UUD 1945 berada di bawah judul agama dan perkataan itu yang
terletak setelah perkataan “kepercayaan” dimaksud. Kepercayaan menurut aliran
kepercayaan adalah kepercayaan menurut agama. Oleh Karena itu adalah logis
kalau aliran kepercayaan ditempatkan di Derektorat Jendral Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bukan di Departemen Agama.
Dengan
demikian, di dalam Negara Republik Indonesia, tidak boleh ada dan tidak boleh
dilangsungkan pernikahan di luar hukum agama atau kepercayaan agama yang diakui
eksistensinya yaitu Islam, Nasrani (baik Katolik maupun Protestan), Hindu dan
Buda di tanah air kita. Dan sebagai Konsekuensi di anutnya asas bahwa
perkawinan adalah sah kalu dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan agama,
maka segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan tidak boleh bertentangan
dengan hukum agama yang dipeluk oleh warga Negara Republik Indonesia.
Tentang
perkawinan oran-orang berbeda agama, akalau dihubungkan dengan Undang-undang
Perkawinan (1974) terdapat beberapa pendapat, diantaranya adalah:
1).
Pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama
dapat saja dilangsungkan sebagai pelaksanaan hak asasi manusia, kebebasan
seseorang untuk menentukan pasangannya, hak dan kedudukan suami istri yang
seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pegaulan hidup bersama dalam
masyarakat. Menurut pendapat ini, perkawinan yang demikian dapat mempergunakan S.
1898 No. 158 tentang perkawinan campuran peninggalan belanda dahulu sebagai
landasan dan mencatatkannya pada kantor Catatan Sipil di tempat mereka
melangsungkan pernikahan.
2).
Sedangkan Pendapat ini mengatakan bahwa UUD No. 1 Tahun 1974, tidak mengatur perkawinan
campuran antara orang-orang yang berbeda agama. Menurut pendapat ini,
perkawinan antar pasangan yang berbeda agama yang saling jatuh cinta dan ingin
menjalin hubungan dalam bentuk keluarga. Karena itu, kata penganut pendapat
ini, perlu dirumuskan ketentuan hukunya. Daripada membiarkan kemaksiatan, lebih
baik membenarkan atau mengesahkan pernikahan orang-orang yang saling jatuh
cinta itu, meskipun keyakinan agama yang mereka anut berbeda.
3). Pendapat
yang ketiga ini mengatakan bahwa perkawinan campuran antara orang-orang yang
berbeda agama tidak dikehendaki oleh pembentuk Undang-undang yaitu Pemerintah
dan DPR Republik Indonesia. Kehendak itu dengan tegas dinyatakan dalam pasal 2
ayat 1 mengenai sahnya perkawinan dan pasal 8 huruf (f) mengenai larangan
perkawinan. Dalam pasal huru (f) Undang-undang perkawinan dengan jelas
dirumuskan bahwa, “Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan
yang oleh agamanya atau peraturan yang beralaku dilarang kawin”. Artinya
Undang-undang Perkawinan melarang dialkukan atau disahkan perkawinan yang
dilarang oleh agama dan peraturan lain yang berlaku dalam Republik Indonesia.
Larangan yang tercantum dalam Undang-undang perkawinan ini Selaras dengan
larangan agama dan hukum masing-masing agama. Oleh karena itu pula pembenaran
dan pengesahan perkawinan campuran orang-orang yang berbeda agama, selain
dengan bertentangan dengan agama atau hukum agama, sesungguhnya, bertentangan
pula dengan Undang-undang Perkawinan yang berlaku bagi segenap warga Negara dan
penduduk Indonesia.
2.4 Perkawian Lintas Agama menurut Mazhab Empat
Sebagaimana
diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang
perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul
kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan
tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara
seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau
musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan
musyrik dan ahlul kitab tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan
mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang
ulama mazhab empat, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai
pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas
berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum perkawinan lintas
agama.
1). Mazhab Hanafi.
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria
muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan
mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab
tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul
kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan
ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang
pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi
Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab
Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.
Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi
atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut
mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya
makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang
besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh
tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan
minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2). Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini
mempunyai dua pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh
mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau
negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi
wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang
kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya,
maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak
melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan
pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika
dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka
diharamkan.
3). Mazhab
Syafi’i.
Demikian
halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita
ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab
Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa
Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi
dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :
(1).
Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan
bangsa lainnya.
(2). Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS.
Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani
bangsa Israel.
Menurut
mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut
agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu
semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut
Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan
Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min
qoblikum tersebut.
4. Mazhab Hambali.
Pada
mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini,
mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi
wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda
agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi
tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari
Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi
dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
BAB III
KESIMPULAN
Perkawinan lintas agama antara muslim dan muslimah dengan
non muslim musyrik pada hakikatnya diharamkam menurut ajaran Islam (Jumhur
Ulama). Namun terdapat perbedaan pendapat jika perkawinan itu antara seorang
muslimah dengan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Sedangkan antara seorang
muslim dengan seorang perempuan ahli kitab sebagian pendapat membolehkan karena
laki-laki berperan dan dapat memengaruhi perempuan dalam suatu keluarga.
Penulis sependapat dengan Putusan MUI tahun 1980 yang berpendapat seperti di
atas.
Kelompok pemikir liberal-pluralis semisal Jaringan Islam
Liberal (JIL) beranggapan bahwa semua agama sama dan oleh karena itu tidak
mempersoalkan perkawinan antar agama karena semua agama menurut mereka membawa
dan mengajarkan kebenaran.
Wallahu A’lamu Bis shawab.
Perkawinan lintas agama adalah perkawinan yang dilakukan
oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita
atau seorang pria yang beragama non-Islam (alh kitab atau Musyrik).
pertama hukum
pernikahan campuran antara orang-orang yang berbeda agama, dengan cara
pengungkapannya, tidaklah sah menurut agama yang diakui keberadaannya dalam
Negara Republik Indonesia. Dan karena sahnya perkawinan didasarkan pada hukum
agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama, tidak sah pula
menurut Undang-undang Perkawinan Indonesia. kedua Perkawinan
campuran antara orang-orang yang berbeda agama mengandung berbagai konflik pada
dirinya, sehingga dalam perkawinan campuran orang-orang yang berbeda agama,
tujuan perkawinan tersebut, sukar terwujud. Ketiga perkawianan
campuran antara orang-orang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum
perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang Perkawinan yang
berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini kendatipun ada kenyataan
dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan sendiri. Keempat Pria
atau Wanita yang akan melangsungkan perkawinan campuran bebeda agama sebaiknya
memeluk saja agama pasangannya. Dengan begitu, perkawinan demikian berada di
bawah naungan satu agama mungkin dapat dibentuk keluarga bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut masing-masing agama, di tanah air
kita.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullahi
Ahmed An-Naim, 2001. Dekonstruksi Syari’ah (Terj) Bandung: Mizan.
Ahmad
Shalaby, 2001. Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, Jakarta: Amzah.
Al-Jaziri,
1969. Kitab fiqh ‘ala mazahibul al-arba’ah, Juz IV, Beirut .
Ali
Al-sabuni, 1972, Tafsir Ayat Ahkam, , juz I Makkah: Dar Al-Qur’an Al-Karim.
Amir
Syarifuddin, 2007. Garis-garis besar Fiqh, Bogor: Kencana.
Asnawi
Ihsan, Warna-warni Hukum Perkawinan beda agama,
Kartini
Kartono, 1997 , Pantologi Sosial, Jakarta: Rajawali Press.
Muhammad
Daud Ali, 2005. Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.
Muhammad
Syaltuth, t.t. Al-Fatawa,Mesir: Dar al- Qolem.
Sayuti
Thalib, 1986. Hukum Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta: UI Press.
Sayyid
Sabiq, 1990. Fiqh As-Sunnah, Terj. Drs. Muhammad Thalib, Bandung: PT. Al
Ma’arif.
Yusuf
al-Qordawi, 1978. Huda al-Islam Fatawa Mu’asiraoh,Kairo: Dar Afaq.
assalamualaikum.. minta izin copas
BalasHapusassalamu'alaikum....
BalasHapussobat,, ikutan copy ya,,, :)